Ditujukan Kepada Orang Yang Meremehkan Sholat

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Sering kali, bahkan saya sendiri meremehkan sholat bahkan meninggalkan sholat dan kebanyakan anak muda pada zaman sekarang ini yang dijejali oleh pesatnya perkembangan teknologi dan dengan teknologi itu anak muda sekarang ini lupa akan kewajibannya yaitu sholat lima waktu dan ada kemungkinan juga orang belum tahu akan hukum kewajiban sholat. Setelah saya mengenal lebih jauh tentang agama Islam, saya akan merepost kajian tentang "Ditujukan Kepada Orang Yang Meremehkan atau meninggalkan Sholat" Oleh : Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc. Tulisan ini ditujukan kepada orang-orang yang mungkin belum tahu tentang beratnya hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan shalat lima waktu, sehingga dia meremehkan dan meninggalkannya.
Tulisan ini ditujukan kepada orang-orang yang mungkin belum tahu tentang beratnya siksaan di akhirat bagi orang yang meninggalkan shalat, sehingga dia meninggalkannya.

Demi Allah, tulisan ini bukanlah arena untuk mencela, menghina, menghujat, mencaci, melaknat orang-orang yang meremehkan atau meninggalkan shalat.

Demi Allah, tulisan ini adalah murni nasehat, petunjuk, wejangan, wasiat dari orang yang menginginkan kebaikan untuk Anda, wahai orang yang meremehkan atau meninggalkan shalat.

Tulisan ini saya tujukan kepada orang yang mengaku dirinya muslim, tetapi tidak pernah mengerjakan shalat, atau mengerjakan sebagian dan meninggalkan sebagian atau orang yang meyakini bahwa shalat itu tidak wajib.

1. Hukum shalat lima waktu wajib bagi seorang muslim baligh, berakal kecuali wanita yang haid dan nifas berdasarkan Al Quran, As Sunnah dan Ijma’.

Dalil-dalil yang menunjukkan akan hal ini:

Allah Ta’ala berfirman:

{… إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا }
Artinya: “…Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.( QS. An Nisa: 103)

{ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ }
Artinya: “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al Bayyinah: 5)

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman dan memerintahkannya untuk menyerukan kepada manusia bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasulullah, dan jika mereka mentaatinya, maka beritahukanlah kepada mereka:

أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ …
Artinya: “Bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka untuk mengerjakan shalat lima waktu sehari dan semalam…”. (HR. Bukhari dan Muslim)

عن عُبَادَة بن الصامت رضي الله عنه قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ … ».
Artinya: “Shalat lima waku telah Allah Wajibkan atas seluruh hamba…”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani di dalam Shahih Al Jami’)

Dan Ibnu Qudamah (w:744H) menyatakan bahwa umat Islam bersepakat akan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam. (Lihat kitab Al Mughni)

Sedangkan tidak wajib bagi wanita yang haid dan nifas karena:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَال: قالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم :«… أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » .
Artinya: “Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “…Bukankah wanita jika haid tidak shalat dan berpuasa”. (HR. Bukhari)

2. Diantara Kedudukan Shalat di dalam Agama Islam.

~ Shalat lima waktu adalah Rukun Islam Kedua.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ » .
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berasabda: “Islam dibangun di atas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan haji dan berpuasa di bulan Ramadhan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

~ Shalat adalah tiang agama, jika tiangnya roboh maka bangunan di atasnya akan roboh juga.

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

« رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ »
Artinya: “Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, puncaknya yang tertinggi adalah jihad”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah: 1122)

~ Shalat adalah yang paling pertama akan dihisab oleh Allah, jika shalatnya baik, maka seluruh amalannya baik dan akan beruntung, adapun jika shalatnya buruk maka seluruh amalnya buruk dan merugi.

عن أنس بن مالك – رضي الله عنه – عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: ((أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة: الصلاة، فإن صلحت صلح سائرُ عمله، وإن فسدت فسد سائرُ عمله)).
Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang paling pertama akan dihisab atas seorang hamba pada hari kiamat adalah perkara shalat, jika shalatnya baik maka seluruh amal perbuatannya baik dan jika rusak maka seluruh amal perbuatannya rusak”. (HR. Ath Thabrani dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Silsilat al Ahadits Ash Shahihah, no. 1358)

~ Menjaga shalat adalah wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sekarat untuk umatnya.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله عنها, أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ حُضِرَ جَعَلَ يَقُولُ « الصَّلاَةَ الصَّلاَةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ».
Artinya: “Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dalam keadaan sekarat bersabda: “Jagalah shalat, jagalah shalat dan budak-budak kalian”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 868)

~ Shalat diwajibkan tanpa perantara Jibril ‘alaihissalam tetapi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, yang langsung mendapatkan perintah kewajiban shalat ketika beliau melakukan Isra’ dan Mi’raj.

~ Semenjak anak-anak sudah diperintahkan shalat dan boleh dipukul jika tidak shalat pada waktu berumur 10 tahun.

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ».
Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun dan pukul mereka jika tidak shalat ketika mereka berumur 10 tahun dan pisahakanlah di dalam tempat-tempat tidur mereka”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Irwal Al Ghalil, no. 298)

~ Siapa yang kelupaan shalat lima waktu maka harus diqadha.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ ».
Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang kelupaan shalat amaka hendaklah dia dirikannya jika dia ingat, tidak ada penebus akannya kecuali hal itu”. (HR. Muslim)

3. Keutamaan dan manfaat mendirikan shalat.

~ Shalat mencegah dari perbuatan fahsya (setiap maksiat yang kotor, keji yang merupakan hawa nafsu manusia) dan mungkar (setiap maksiat yang diingkari oleh akal dan fitrah). Lihat kitab Taisir Al Karim Ar Rahman.

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Artinya: “…dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar…”. (QS. Al Ankabut: 45)

~ Menghapuskan dosa dan kesalahan, yang mana setiap manusia seorang yang sering melakukan kesalahan.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم-يَقُولُ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ ». قَالُوا لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ. قَالَ « فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا ».
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa pendapat kalian, jikala ada sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, dia mandi darinya setiap hari sebanyak lima kali, apakah masih tersisa dari kotorannya sedikitpun?”, para shahabat menjawab: “Tidak tersisa sedikitpun dari kotorannya”. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berasabda: “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu Allah menghapus dengannya kesalaan-kesalahan”. (HR. Muslim)

~ Shalat merupakan cahaya bagi pelakunya di dunia dan akhirat sehingga nyaman hidup di dunia serta dijauhkan dari api neraka ketika di akhirat dan tidak dikumpulkan bersama Karun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin Khalaf .

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ ذَكَرَ الصَّلاَةَ يَوْماً فَقَالَ « مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوراً وَبُرْهَاناً وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلاَ بُرْهَانٌ وَلاَ نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَىِّ بْنِ خَلَفٍ ».
Artinya: “Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari menerangkan tentang shalat, beliau bersabda: “Barangsiapa yang selalu menjaganya (shalat), maka baginya cahaya, petunjuk dan keselamatan pada hari kiamat, sedangkan yang tidak menjaganya maka tidak ada baginya cahaya, petunjuk dan keselamatan pada hari kiamat, dan pada hari kiamat akan bersama Karun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin Khalaf“. (HR. Ahmad dan Al Mundziri berkata di dalam At Targhib Wa At Tarhib: “Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang jayyid”, tetapi ada sebagian ulama hadits yang melemahkan hadits ini)

Ibnu Qayyim (w:762H) berkata ketika mengomentari hadits ini:

وفيه نكتة بديعة وهو أن تارك المحافظة على الصلاة إما أن يشغله ماله أو ملكه أو رياسته او تجارته فمن شغله عنها ماله فهو مع قارون ومن شغله عنها ملكه فهو مع فرعون ومن شغله عنها رياسة ووزارة فهو مع هامان ومن شغله عنها تجارته فهو مع أبي بن خلف
Artinya: “Di dalam hadits ini ada poin menarik, yaitu orang yang meninggalkan penjagaan akan shalat, bisa karena disibukkan oleh hartanya atau kerajaannya atau kepemimpinannya atau perniagaannya, maka siapa yang disibukkan oleh hartanya sehingga ia melalaikan shalat, maka ia akan bersama Karun, dan siapa yang disibukkan oleh kerajaannya sehingga ia melalaikan shalat, maka ia akan bersama Fir’aun, siapa yang disibukkan oleh kementeriannya sehingga ia melalaikan shalat, maka ia akan bersama Haman dan siapa yang disibukkan oleh perniagaannya sehingga ia melalaikan shalat, maka ia akan bersama Ubay bin Khalaf“. (Lihat kitab Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha)

Bersambung insyaAllah…

Keutamaan Bulan Muharram

Oleh: Syaikh Muhammad Shalih Munajjid -hafizhahullah-
Alih bahasa: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc

Segala puji milik Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada para kerabat dan para shahabat beliau seluruhnya, wa ba’du;

Sesungguhnya bulan Allah bulan al Muharram adalah bulan yang agung dan penuh berkah, ia adalah bulan yang pertama dalam setahun dan salah satu dari bulan-bulan suci yang mana Allah berfirman tentangnya:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ [التوبة : 36]
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. at Taubah: 36)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Artinya: “Satu tahun ada 12 bulan darinya ada 4 bulan suci: 3 bulan secara berurutan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab Mudhar antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban”. Hadits riwayat Bukhari, no.2958.
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”

Maksudnya adalah jangan berbuat zhalim di bulan-bulan yang suci ini karena berbuat zhalim di dalamnya lebih ditekankan dan lebih ditegaskan akan dosa dari bulan-bulan lainnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir firman Allah Ta’ala:

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”

“Maksudnya jangan berbuat zhalim di setiap bulan darinya, tetapi dikhususkan darinya 4 bulan maka Allah menjadikannya (4 bulan tadi) suci, mengagungkan kehormatan-kehormatannya dan menjadikan dosa di dalamnya berlipat dan amal shalih pahalanya di dalamnya lebih besar (dibanding dengan bulan-bulan lainnya).

Qatadah rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat;

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya berbuat zhalim di bulan-bulan suci lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat zhalim di selainnya, walaupun suatu kezhaliman apapun bentuknya merupakan dosa besar tetapi Allah Ta’ala mengagungkan suatu perkara sesuai dengan kehendaknya”.

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah memilih yang suci dari makhluqnya; seperti Ia memilih para malaikat sebagai utusan dan memilih dari manusia sebagai rasul, memilih dari firman-Nya untuk mengingat-Nya, memilih bumi dijadikan sebagai masjid-masjid, memilih dari bulan-bulan bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang suci, memilih dari hari-hari hari Jum’at, memilih dari beberapa malam malam qadar, maka agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah Ta’ala. Sungguh dimuliakannya beberapa perkara karena pengagungan Allah terhadapnya, dan hal ini bagi orang-orang yang diberi kepahaman dan akal”. (diringkas dari tafsir Ibnu katsir, tafsir surat at Taubah ayat 36).

Keutamaan memperbanyak puasa sunnah pada waktu bulan Muharram

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ. (رواه مسلم:1982)
Artinya: “Puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa bulan Allah yaitu bulan Muharram.” (Hadits riwayat Muslim, no. 1982)

Sabda beliau: ” شَهْرُ اللَّهِ” digandengkan bulan ini kepada Allah Ta’ala sebagai penggandengan pengagungan, Al Qari rahimahullah berkata: “Bahwa maksudnya adalah seluruh hari pada bulan Muharram.”

Tetapi telah shahih riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan, maka hadits ini dianggap sebagai pemotivasi untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan untuk berpuasa satu bulan penuh.

Dan telah benar riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali pada akhir hayat beliau sebelum bisa mengerjakan puasa tersebut… (lihat kitab Al Minhaj; Penjelasan an Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim)

Allah memilih sesuatu dengan kehendak-Nya baik dari zaman atau tempat

Al ‘Izz Bin Abdus Salam rahimahullah berkata: “Dan pengutamaan antara tempat dan zaman, ada dua macam, yang pertama: berdasarkan dunia… dan yang kedua: pengutamaan berdasarkan agama, hal ini kembali kepada bahwa Allah Ta’ala memberikan kemurahan di dalamnya kepada hamba-Nya dengan mengutamakan pahala orang-orang yang mengerjakannya, seperti pengutamaan pahala puasa Ramadhan atas puasa seluruh bulan, dan demikian pula hari ‘Asyura-’… maka kemuliaan di dalamnya kembali kepada kemurahan dan kebaikan Allah ta’ala kepada para hamba-Nya… (lihat kitab Qawa’idul Ahkam 1/37)

‘Asyura-’ ditilik dari sejarah

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. (رواه البخاري:1865)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di kota Madinah, beliaupun melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura-’, maka beliau bertanya: “Ada apa dengan hari ini?”, mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka maka Nabi Musapun berpuasa pada hari itu”, Nabipun bersabda: “Kalau begitu aku lebih berhak (mengikuti) Musa daripada kalian, beliaupun berpuasa dan memerintahkan ( kaum muslimin ) untuk berpuasa”. (Hadits riwayat Imam Bukhari, no.1865)

Maksud sabda beliau: هَذَا يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:

هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. (رواه مسلم)
Artinya: “Ini adalah hari yang agung, Allah Ta’ala telah menyelamatkan pada hari ini Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musapun ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka kamipun berpuasa pada hari ini.”

Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:

وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.
Artinya: “Ini adalah hari dimana berlabuhnya kapal (Nabi Nuh ‘alaihissalam)diatas bukit Judi (Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh ‘alaihissalam dan Musa  berpuasa karenanya sebagai tanda syukur.”

Hadits : “وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ” (dan beliaupun shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa karenanya), di dalam riwayat al Bukhari rahimahullah juga terdapat lafadz:

فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا. (رواه البخاري)
Artinya: “Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada para shahabatnya: “Kalian lebih berhak untuk mengikuti Nabi Musa ‘alaihissalam daripada mereka”. (Hadits riwayat Bukhari)

Dan berpuasa pada hari ‘Asyura-’ telah dikenal dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman kenabian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah senantiasa berpuasa pada hari itu…”,

Al Qurthuby rahimahullah berkata: “Kemungkinan orang-orang Quraisy menyandarkan dalam puasanya kepada ajaran orang-orang terdahulu seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hijrah ke kota Madinah beliau mendapatkan orang-orang Yahudi memperingatinya lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebab dan merekapun menjawabnya sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka di dalam peringatan mereka sebagai hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits Abu Musa ‘alaihissalam, beliau bersabda:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه البخاري
Artinya: “Hari ‘Asyura-’ dulunya dianggap oleh orang yahudi sebagai hari raya maka hendaklah kalian berpuasa pada hari itu”.

Di dalam riwayat Imam Muslim rahimahullah:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا. رواه مسلم
Artinya: “Hari ‘Asyura-’ adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan mereka menjadikannya hari raya”.

Di dalam riwayat yang lain milik beliau juga:

كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يَتَّخِذُونَهُ عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ فِيهِ حُلِيَّهُمْ وَشَارَتَهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه مسلم
Artinya: “Penduduk Khaibar (dan mereka pada waktu itu orang-orang Yahudi-pent) berpuasa pada hari ‘asyura-’ dan selalu menjadikannya sebagai hari raya, mereka menghiasi wanita-wanita mereka dengan emas dan perhiasan mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka berpuasalah kalian pada hari itu”. (Hadits riwayat Muslim)

Dan yang terlihat dari perintah untuk berpuasa adalah keinginan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi sehingga berpuasa ketika mereka berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa (di dalamnya-pent). (diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari)

Keutamaan Berpuasa Hari ‘Asyura-’

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ . (رواه البخاري )
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Tidak pernah Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat puasa pada suatu hari, ia utamakan dari yang lainnya kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura-’ dan bulan ini yakni bulan Ramadhan”. (Hadits riwayat Bukhari, no. 1867)

Dan Makna “yataharra” adalah bertekad untuk berpuasa pada hari itu agar mendapatkan ganjarannya dan bersemangat untuk mengerjakannya.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. (رواه مسلم :1976)
Artinya: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dosa) tahun yang sebelumnya”. (Hadits riwayat Muslim, no.1976)

Ini adalah dari kemuliaan Allah bagi kita dengan Ia berikan kepada kita berpuasa satu hari sebagai penghapusan dosa-dosa selama satu tahun penuh, dan Allah Ta’ala Maha mempunyai kemuliaan yang sangat agung.

Hari apakah hari ‘Asyura-’?

An Nawawi rahimahullah berkata: “Kata ‘Asyura-’ dan Tasu’a-’ adalah dua nama yang dipanjangkan, inilah yang masyhur di kitab-kitab bahasa. Para shahabat kami berkata: ” ‘Asyura-’ adalah hari ke sepuluh dari bulan al Muharram dan Tasu’a-’ adalah hari kesembilan darinya… begitulah pendapat jumhur ulama … dan begitulah maksud yang terlihat jelas dari beberapa hadits dan ketentuan dari muthlak lafadznya, dan dialah yang dikenal oleh para ahli bahasa. (lihat kitab Majmu’ karya an Nawawi)

Ia adalah istilah yang ada dalam Islam tidak dikenal zaman jahiliyah. (lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz:2, puasa muharram ).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: ” ‘Asyura-’ adalah hari kesepuluh dari bulan Al Muharram, dan ini adalah pendapat Sa’id Bin Musayyib dan Hasan rahimahumallah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ. (رواه الترمذي)
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Asyura-’ hari kesepuluh dari bulan Muharram”. Hadits riwayat Tirmidzi, beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
Dianjurkan puasa Tasu’a-’ dan ‘Asyura-’

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قال: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه مسلم:1916 )
Artinya: “Abdullah Bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa pada hari itu, mereka berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila datang tahun depan, jika Allah menghendaki maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan”, beliau (Abdullah Bin Abbas) radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dan tidaklah datang tahun depan hingga datangnya wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Hadits riwayat Muslim, no. 1916)

Imam Syafi’ie rahimahullah , para shahabatnya, Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah serta yang lainnya berkata: “Dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh keduanya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kesepuluh dan telah berniat berpuasa pada hari kesembilan.

Dengan penjelasan diatas maka berpuasa pada hari ‘Asyura-’ ada beberapa tingkatan: “Yang paling rendah adalah berpuasa 1 hari (kesepuluh saja), diatasnya berpuasa pada hari kesembilan bersamanya dan tiap kali memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram maka itu yang lebih utama dan lebih baik.

Hikmat dari penganjuran berpuasa pada hari Tasu’a-’

An Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama dari sahabat kami dan yang lainnya menyebutkan hikmah di dalam penganjuran puasa hari Tasu’a-’, ada beberapa macam:

Yang pertama: bahwa maksud darinya adalah menyelisihi orang-orang Yahudi ketika mereka hanya mencukupkan hanya hari kesepuluh.
Yang kedua: bahwa maksud darinya adalah menyambung hari ‘Asyura-’ dengan berpuasa (pada hari sebelumnya), sebagaimana dilarang untuk berpuasa pada hari jum’at secara sendirian, kedua pendapat ini disebutkan oleh al Khaththabi dan yang lainnya.
Yang ketiga: benar-benar menjaga untuk berpuasa pada hari kesepuluh, karena ditakutkan awal bulan terlalu kecil atau terjadi kesalahan (dalam penglihatan awal bulan-pent), maka hari kesembilan di dalam jumlah sebenarnya hari kesepuluh ketika itu.
Dan jawaban yang paling kuat adalah menyelisihi ahli kitab, Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk menyerupakan diri dengan ahli Kitab di dalam hadits-hadits yang banyak, seperti sabda beliau:
لَئِنْ عِشْتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
Artinya: “Sungguh jika aku masih hidup pada tahun depan maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan.” (Lihat kitab al-Fatawa al-Kubra juz 6, saddudz dzra-I’ al Mufdiyah)

Hukum berpuasa hari ‘Asyura-’ saja:

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa selama 1 tahun dan tidak dimakruhkan untuk mengkhususkannya dengan berpuasa… (al Fatawa al Kubra juz 5). Dan di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitamy rahimahullah disebutkan: dan hari ‘Asyura-’ tidak mengapa berpuasa pada hari itu saja… (lihat juz3, bab puasa sunnah).

Boleh berpuasa pada hari ‘Asyura-’ walaupun hari itu hari Sabtu atau Jum’at

Telah ada riwayat tentang larangan berpuasa pada hari Jum’at secara tersendiri dan larangan tentang berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib, tetapi hilang kemakruhannya jika ia berpuasa pada dua hari ini dengan menggambungkan satu hari ke setiap dari keduanya atau bertepatan dengan kebiasaan yang disyari’atkan seperti berpuasa 1 hari dan berbuka 1 hari atau berpuasa sebagai nadzar atau puasa qadha-’ atau puasa yang dianjurkan oleh agama seperti puasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’… (lihat kitab Tuhfatul Muhtaj, juz 3 bab puasa sunnah dan kitab Musykilul Aatsar, juz 2, bab puasa hari Sabtu).

Al Bauhuti rahimahullah berkata: “Dan dimakruhkan bersengaja berpuasa pada hari Sabtu disebabkan oleh hadits Abdullah Bin Busyr dari saudara perempuannya:

لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
Artinya: “Dan janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian”. Hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang baik dan Imam hakim, beliau berkata: “Hadits ini berdasarkan syarat shahih Bukhari. Dan dikarenakan ia adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi, karena pengkhususan berpuasa pada hari itu saja ada persamaan dengan mereka… ( kecuali apabila bertepatan ) hari Jum’at atau hari Sabtu ( biasanya) seperti bertepatan dengan hari Arafah atau hari ‘Asyura-’ dan merupakan kebiasaannya berpuasa pada kedua hari itu maka tidak dimakruhkan, karena suatu adat mempunyai pengaruh di dalam hal tersebut”. (Lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz2, bab Puasa sunnah)

Apakah yang harus dikerjakan apabila hilal (awal bulan) belum jelas??

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Dan Jika awal bulan masih samar maka ia berpuasa tiga hari, dan sesungguhnya ia kerjakan demikian agar ia yakin pada hari kesembilan dan kesepuluhnya ( kitab al Mughni karya Ibnu qudamah juz 3, shiyam – shiyam bulan ‘Asyura-’)

Barang siapa yang belum mengetahui masuk awal bulan Muharram dan ia ingin berhati-hati untuk hari kesepuluh maka hendaklah ia menggenapkan bulan Dzulhijjah 30 hari sebagaimana kaidah yang dikenal kemudian ia bepuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Dan barang siapa yang menginginkan berhati-hati pada hari kesembilannnya juga maka ia berpuasa pada hari kedelapan dan kesembilan dan kesepuluh ( kalau seandainya Dzulhijjah sebenarnya kurang (dari 30) maka ia telah mendapatkan hari kesembilan dan kesepuluh dengan yakin). Dan mengingat bahwa berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dianjurkan dan tidak diwajibkan maka manusia tidak diperintahkan untuk benar-benar memperhatikan awal bulan sebagaimana mereka diperintahkan untuk benar-benar awal bulan Ramadhan dan Bulan Syawwal.

Puasa hari ‘Asyura-’, menghapuskan apa??

An Nawawi rahimahullah berkata: “Menghapuskan dosa-dosa kecil, dan taqdirnya adalah menghapuskan dosa-dosa sipelakunya seluruhnya kecuali dosa-dosa besar”. beliau rahimahullah berkata juga: “Puasa hari Arafah sebagai penghapus dosa dua tahun dan puasa ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa satu tahun dan apabila pengucapan “amin” nya bertepatan dengan para malaikat maka akan diampunkan baginya dosa-dosanya yang telah… tiap dari perkara yang disebutkan ini bisa digunakan untuk penghapus dosa, apabila ia mendapatkan sesuatu yang bisa ia hapuskan dari dosa-dosa kecil maka ia menghapusnya dan apabila tidak mendapatkan dosa-dosa kecil atau besar maka dituliskan dengan sebabnya berupa kebaikan-kebaikan, dan diangkat untuknya beberapa derajat dengan sebab itu. Dan apabila ia mendapatkan satu dosa besar atau beberapa dosa besar dan tidak mendapatkan dosa-dosa kecil maka kita harapkan ia bisa meringankan dosa besar”. (lihat kitab al Majmu’ Syarah Muhadzdzab, juz 6, puasa hari Arafah)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan penghapusan dosa (dari pahala) bersuci, shalat, berpuasa bulan Ramadhan, puasa hari Arafah dan hari ‘Asyua-’ hanya untuk dosa-dosa kecil saja. (lihat kitab al Fatawa al Kubra, juz 5 ).

Jangan terpesona dengan pahala puasa!

Beberapa orang terpesona dengan menyandarkan pahala puasa hari ‘Asyura-’ atau hari Arafah, sampai-sampai sebagian dari mereka berkata: “Puasa hari ‘Asyura-’ menghapuskan seluruh dosa-dosa dalam satu tahun itu, dan tersisa puasa hari Arafah bonus di dalam pahala.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang yang terperdaya ini tidak menyadari bahwa puasa bulan Ramadhan dan shalat wajib lima waktu lebih agung dan lebih tinggi dari berpuasa pada hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dan ia (shalat lima waktu dan puasa bulan Ramadhan) menghapuskan dosa-dosa diantara keduanya apabila ia menghindari dosa-dosa besar. Puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan, shalat Jum’at ke shalat Jum’at tidak berfungsi untuk menghilangkan dosa-dosa kecil kecuali dengan menggabungkan kepadanya penjauhan akan dosa-dosa besar dan akhirnya gabungan dari dua perkara ini berkekuatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Dan dari orang-orang yang terlena ada yang mengira bahwa keta’atannya lebih banyak dari perbuatan-perbuatan maksiatnya, karena ia tidak menghisab dirinya akan kesalahan-kesalahannya dan tidak mencri-cari akan dosa-dosanya, sedangkan apabila ia telah mengerjakan satu keta’atan maka ia akan menghapalnya dan menghitungnya seperti orang yang beristighfar dengan lisannya atau bertasbih di dalam satu hari 100 kali, kemudian ia menggunjing kaum muslimin dan merobek-robek kehormatannya dan ia berbicara dengan sesuatu yang tidak Allah  ridhai di sepanjang harinya, maka orang ini selalu melihat keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak menoleh kepada apa yang diriwayatkan dari ancaman bagi orang-orang penggunjing, pendusta dan pengadu domba serta selain daripada itu yang berupa penyakit-penyakit lisan, dan hal demikian itu adalah benar-benar penipuan. (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah, juz 31, ghurur)

Berpuasa hari ‘Asyura-’ dalam keadaan masih punya tanggungan dari puasa Ramadhan

Para Ahli Fiqh berbeda pendapat di dalam hukum mengerjakan puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan, Madzhab Hanafy berpendapat diperbolehkan berpuasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan tanpa ada kemakruhan dikarenakan menggantinya tidak wajib dengan segera dan madzhab Maliky dan Syafi’i berpendapat diperbolehkan berpuasa dengan kemakruhan dikarenakan akan menta’khirkan suatu yang wajib. Ad Dasuqy berkata: “Dimakruhkan berpuasa sunnat atas siapa yang mempunyai tanggungan puasa wajib seperti orang yang bernadzar, puasa qadha, puasa sebagai (kaffarah) penebus sesuatu, baik puasa sunnah yang ia dahulukan dari puasa wajib itu tidak ditekankan atau ditekankan, seperti puasa ‘Asyura-’, puasa tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah menurut pendapat yang lebih utama. Dan Madzhab Hanbali berpendapat akan keharaman puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan dan tidak sahnya berpuasa sunnah waktu itu walaupun masih panjang waktu untuk mengqadha-’. Dan diharuskan untuk memulai dengan mengerjakan yang wajib sampai ia selesai mengqadha-’nya (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah juz 28:puasa sunnah)

Maka dari itu hendaklah seorang muslim bersegera mengqadha-’ setelah bulan Ramadhan agar memungkinkannya untuk mengerjakan puasa Arafah Dan ‘Asyura-’ tanpa ada kesulitan, dan apabila ia berpuasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dengan niat dari malam hari mengqadha-’ maka hal yang demikian itu telah mencukupi di dalam pengqadha-’an puasa yang wajib.

Bid’ah-bid’ah pada hari ‘Asyura-’

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang perbuatan yang dikerjakan manusia pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak, mandi, memakai pacar, saling bersalaman, memasak biji-bijian dan memperlihatkan kesenangan serta yang lainnya… Apakah yang demikian itu ada dasarnya atau tidak?

Dijawab: “Segala puji milik Allah Rabb semesta alam, tidak ada di dalam hal ini satu riwayat hadits shahihpun dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari para shahabatnya, tidak dianjurkan pula oleh satupun dari para Imam yang empat akan hal tersebut, tidak pula dari selain mereka dan para pengarang kitab-kitab mu’tabar (terpandang) juga tidak meriwayatkan sesuatupun dalam hal ini dan tidak dari riwayat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari para shahabat, juga dari tabi’in, tidak ada dari hadits yang shahih, tidak juga dari hadits yang lemah. Tetapi sebagian orang-orang generasi terakhir telah meriwayatkan dalam perkara ini beberapa hadits, seperti apa yang mereka riwayatkan bahwa; “Barangsiapa yang bercelak pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak akan pedih matanya pada tahun itu”, dan “Barang siapa yang mandi pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak akan sakit pada tahun itu” dan yang semisal dengan itu… dan bahkan mereka telah meriwayatkan sebuah hadits palsu mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bahwasanya barang siapa yang bermurah atas keluarganya pada hari ‘Asyura-’ maka Allah Akan melapangkan rizqinya sepanjang tahun”. Dan seluruh riwayat-riwayat ini tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bohong.

Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan secara ringkas apa yang telah terjadi pada awal mula umat ini berupa kekacauan-kekacauan, kejadian-kejadian dan terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhuma serta apa yang dikerjakan oleh beberapa kelompok disebabkan hal itu, beliau juga berkata: “Lalu timbullah kelompok yang bodoh dan zhalim, baik itu kelompoknya orang mulhid munafik atau kelompok sesat yang berlebihan yang memperlihatkan kecintaan kepadanya dan kepada Ahlu Bait, kelompok tersebut menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari berkabung, kesedihan dan ratapan. Dan kelompok itu memperlihatkan di dalam hari itu syi’ar-syi’ar orang-orang jahiliyah berupa pemukulan wajah, pengrobekan kantong-kantong baju, dan bertakziyah bak layaknya orang jahiliyah… dan mensenandungkan kashidah-kashidah kesedihan, menceritakan riwayat-riwayat yang di dalamnya terdapat penuh dengan kebohongan. Dan tidak ada kejujuran di dalam peringatan ini kecuali saling berganti tangis, fanatisme, penyebaran kebencian dan perperangan, menyebarkan fitnah diantara umat Islam, menjadikan hal yang demikian itu untuk mencaci para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam…kesesatan dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak bisa dihitung oleh orang yang fasih di dalam berbicara, sedangkan yang menentang mereka ada beberapa kelompok, baik itu dari orang-orang Nawashib yang sangat benci terhadap Husein dan Ahlu Bait radhiyallahu ‘anhum atau dari orang-orang bodoh yang melawan kerusakan dengan kerusakan, kebohongan dengan kebohongan, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah maka mereka membuat kabar-kabar palsu di dalam syi’ar-syi’ar kebahagian dan kesenangan pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak dan memakai pacar, dan banyak memberikan nafkah kepada keluarga, memasak makanan-makanan tidak seperti biasanya dan seperti yang lainnya dari pekerjaan yang dikerjakan pada hari-hari raya dan musim-musim bersejarah. Maka mereka (kelompok kedua-pent) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai musim hari raya dan kesenangan sedangkan mereka (kelompok pertama) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari kesusahan, mereka mendirikan di dalamnya kesedihan dan kesenangan dan keduanya telah melakukan kesalahan keluar daripada sunnah… (al Fatawa al Kubra milik Ibnu Taimiyah rahimahullah ).

Ibnu Hajj rahimahullah menyebutkan termasuk dari perbuatan-perbuatan bid’ah hari ‘Asyura-’ adalah sengaja mengeluarkan zakat di dalamnya baik itu diakhirkan atau di majukan (dari waktu asalnya) dan mengkhususannya dengan menyembelih ayam dan juga para wanita memakai pacar. (al Madkhal juz 1, hari ‘Asyura-’).

Kita memohon kepada Allah agar termasuk dari orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah nabinya yang mulia, dan semoga kita di hidupkan di atas agama Islam, diwafatkan di atas keimanan, semoga Allah memberikan kita taufik untuk mengerjakan apa yang Dia cintai dan ridhai. Dan kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk bisa mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, mengerjakan ibadah kepada-Nya dengan baik, menerima (amal ibadah) dari kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa dan merahmati kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada para keluarga serta seluruh shahabat beliau.

و الله أعلم
و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين
و الحمد لله رب العالمين



Artikel : Dakwahsunnah.com publish kembali oleh ipmrantingsidodadi.blogspot.com

Majelis Dzikir


Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam kitab Shahih Muslim :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيُهَلِّلُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيَسْأَلُونَكَ قَالَ وَمَاذَا يَسْأَلُونِي قَالُوا يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ قَالَ وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِي قَالُوا لَا أَيْ رَبِّ قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِي قَالُوا وَيَسْتَجِيرُونَكَ قَالَ وَمِمَّ يَسْتَجِيرُونَنِي قَالُوا مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ قَالَ وَهَلْ رَأَوْا نَارِي قَالُوا لَا قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا نَارِي قَالُوا وَيَسْتَغْفِرُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوا وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا اسْتَجَارُوا قَالَ فَيَقُولُونَ رَبِّ فِيهِمْ فُلَانٌ عَبْدٌ خَطَّاءٌ إِنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ قَالَ فَيَقُولُ وَلَهُ غَفَرْتُ هُمْ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ
Muhammad bin Hatim bin Maimun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Bahz menuturkan kepada kami. Dia berkata; Wuhaib menuturkan kepada kami. Dia berkata; Suhail menuturkan kepada kami dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala memiliki para malaikat khusus yang senantiasa berkeliling mencari di mana adanya majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemukan sebuah majelis yang padanya terdapat dzikir maka mereka pun duduk bersama orang-orang itu dan meliputi mereka satu sama lain dengan sayap-sayapnya sampai-sampai mereka memenuhi jarak antara orang-orang itu dengan langit terendah, kemudian apabila orang-orang itu telah bubar maka mereka pun naik menuju ke atas langit” Nabi berkata, “Maka Allah ‘azza wa jalla pun bertanya kepada mereka sedangkan Dia adalah yang paling mengetahui keadaan mereka, ‘Dari mana kalian datang?’. Para malaikat itu menjawab, ‘Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu yang ada di bumi. Mereka mensucikan-Mu (bertasbih), mengagungkan-Mu (bertakbir), mengucapkan tahlil, dan memuji-Mu (bertahmid), serta meminta (berdo’a) kepada-Mu.’ Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang mereka minta kepada-Ku?’. Para malaikat itu menjawab, ‘Mereka meminta kepada-Mu surga-Mu.’ Allah bertanya, ‘Apakah mereka telah melihat surga-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Belum wahai Rabbku.’ Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimana lagi jika mereka benar-benar telah melihat surga-Ku?’. Para malaikat itu berkata, ‘Mereka juga meminta perlindungan kepada-Mu.’ Allah bertanya, ‘Dari apakah mereka meminta perlindungan-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Mereka berlindung dari neraka-Mu, wahai Rabbku’. Maka Allah bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Belum, wahai Rabbku.’ Lalu Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimanakah lagi jika mereka telah melihat neraka-Ku.’ Mereka mengatakan, ‘Mereka meminta ampunan kepada-Mu.’ Maka Allah mengatakan, ‘Sungguh Aku telah mengampuni mereka. Dan Aku telah berikan apa yang mereka minta dan Aku lindungi mereka dari apa yang mereka minta untuk berlindung darinya.’.” Nabi bersabda, “Para malaikat itu berkata, ‘Wahai Rabbku, di antara mereka ada si fulan, seorang hamba yang telah banyak melakukan dosa, sesungguhnya dia hanya lewat kemudian duduk bersama mereka.’.” Nabi mengatakan, “Maka Allah berfirman, ‘Dan kepadanya juga Aku akan ampuni. Orang-orang itu adalah sebuah kaum yang teman duduk mereka tidak akan binasa.’.” (HR. Muslim dalam Kitab ad-Dzikr wa ad-Du’a wa at-Taubah wa al-Istighfar, hadits no. 2689, lihat Syarh Muslim [8/284-285] cetakan Dar Ibn al-Haitsam)

Hadits yang mulia ini memberikan banyak pelajaran penting bagi kita, di antaranya adalah :

Hadits ini menunjukkan tentang keutamaan dzikir dan majelis dzikir serta duduk bersama orang-orang yang berdzikir (Syarh Nawawi [8/285])
Hadits ini juga menunjukkan keutamaan duduk bersama orang-orang soleh (Syarh Nawawi [8/285])
Di dalamnya juga terkandung iman kepada para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah makhluk nyata bukan khayalan, dan malaikat tersebut memiliki sayap. Dan Allah tidak membutuhkan malaikat
Hadits ini juga menunjukkan disyari’atkannya membuat majelis dzikir yang di dalamnya mereka mengingat Allah, memuji, dan mengagungkan-Nya, mensucikan dan memohon ampunan-Nya. Namun ini bukan berarti berdzikir secara berjama’ah yang banyak dikenal oleh orang pada jaman sekarang. Yang dimaksud adalah memperbanyak dzikir tersebut secara sendiri-sendiri di dalam majelis tersebut tanpa perlu dikomando. Hal ini berdasarkan atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu yang mengingkari perbuatan orang-orang yang melakukan hal semacam itu. Dan hendaknya dzikir itu dengan suara yang pelan, tidak perlu dikeras-keraskan.
Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bacaan tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir dibandingkan bacaan dzikir yang lain.
Penetapan sifat Allah al-Kalam/berbicara demikian juga al-’Ilmu/mengetahui
Disyari’atkannya berdoa kepada Allah agar masuk surga dan selamat dari neraka
Di dalamnya juga terkandung dorongan untuk beramal saleh supaya masuk ke dalam surga
Di dalamnya juga terkandung peringatan dan ancaman agar menjauhi amal-amal buruk aagar tidak terjerumus ke neraka
Surga dipenuhi dengan kenikmatan sedangkan neraka dipenuhi dengan kesengsaraan
Iman kepada surga dan neraka
Hadits ini menunjukkan keutamaan beriman kepada perkara gaib
Penetapan salah satu nama Allah yaitu Rabb
Bolehnya menyeru Allah dengan lafazh Ya Rabbi (wahai Rabbku)
Disyari’atkannya untuk meminta ampunan kepada Allah
Hadits ini juga menunjukkan kemurahan Allah ta’ala
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah itu tinggi berada di atas langit
Duduk di majelis ilmu merupakan sebab terampuninya dosa dan terkabulnya doa
Dan faidah lainnya yang belum saya ketahui, wallahu a’lam.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Dikutip dari : http://muslim.or.id/hadits/majelis-dzikir.html

Adab Pada Hari Jumat Sesuai Sunnah Nabi